PANEL PARABOLA PENYERAP PANAS

Pemanfaatan energi terbarukan, seperti tenega surya, diperluas, Peneliti dari Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia berinovasi untuk menghasilkan energi surya yang efisien.

 

Rabu, 12 September 2018.

Bandung, Humas P2 TELIMEK-LIPI. Pusat Penelitian Tenaga Listrik Dan Mekatronik – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2 TELIMEK-LIPI), gairah pemanfaatan energi terbarukan mutlak diperluas agar pemanfaatan energi tak tergantung pada energi fosil yang kotor. Riset dan inovasi berkerjaran mengulik potensi kreativitas teknologi untuk menghadirkan pembangkit yang efisien dan mudah diaplikasikan sesuai kondisi wilayah.

Salah satunya adalah yang ditawarkan Pusat Penelitian Tenaga Listrik Dan Mekatronik (P2Telimek) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Bandung. Mereka membuat panel surya dengan permukaan berbentuk cekung, disebut concentrated solar power (CSP) dengan metode parabolic through. Bentuk panel surya itu mirip parabola penangkap sinyal satelit untuk siaran televisi, tak melingkar, tapi lurus memanjang. Itu berada dengan panel surya yang memiliki permukaan datar sepertisel PV umumnya terlihat. Di bagian atasnya, tepat digaris focus panel cekung ini di pasang pipa khusus yang disebut absorber atau penyerap. Pipa ini berpungsi sebagai penerima radiasi panas sinar matahari terfokus dipancarkan “parabola”. Pemanasan ini berlangsung selama matahari bersinar di langit.

Untuk memastikan panel menerima dan memantulkan radiasi sinar matahari paling tinggi, peneliti LIPI memasang alat pengarah matahari atau solar tracking. Tujuannya menggerakan panel mengikuti gerakan matahari. Kepala P2 Telimek-LIPI Budi Prawaramenjelaskan, penyerapan radiasi matahari aktif pukul 08.00-16.00 “Kami maksimalkan radiasi matahari, difokuskan pada pipa berisi cairan agar menghasilkan uap. Uap ini memutar sudut turbin sehingga menghasilkan listrik, ujarnya. Hal itu mengikuti prinsip PLTU di mana batubara dibakar untuk menguapkan air dan uapnya menggerakan turbin sehingga menghasilkan listrik. Prinsipnya, alat CSP ini menyerap sebanyak mungkin radiasi matahari untuk memanaskan fluida agar uapnya menggerakkan turbin penghasil listrik.

 

Kebutuhan Listrik

Inovasi itu dilakukan karena ada kebutuhan listrik di sejumlah daerah dengan paparan sinar matahari tinggi dan jarang hujan. Itu memanfaatkan posisi Indonesia di ekuator intensitas 4,8 kilo watt per jam per meter persegi per hari. Contohnya Nusa Tenggara Timur memiliki hari penyinaran matahari lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain dan hari tanpa hujan 20-60 hari per tahun. Pembangkit listrik berbasis tenaga surya dikembangkan di sejumlah negara dengan cahaya matahari melimpah. Pembangkit dengan system CSP ada empat macam, yakni parabolic trough, solar tower, parabolic dish, dan Fresnel. System parabolic trough membuktikan sebagai system paling matang digunakan. Hal itu ditunjukkan dengan system parabolic trough yang terpasang di California bagian selatan, Amerika Serikat, sejak 1980 yang menghasilkan daya 354 MWe. Jadi, perlu lahan seluas 200 hektar sebagai tempat instalasi untuk menghasilkan listrik sebesar itu.

Sistem CSP berupa solar parabolic trough collector memiliki beberapa tahap proses mulai dari pengumpulan cahaya matahari sebagai sumber energi utama sampai proses terakhir, yakni untuk menghasilkan listrik. Cahaya matahari diterima solar collector berbentuk parabolic trougli. Pengumpulan radiasi ini juga berfungsi sebagai pemantul radiasi cahaya yang meneruskan cahaya matahari ke pipa penyerap sepanjang garis focus dari parabolic trough, Penyerap terbuat dari pipa stainless steel. Pipa itu diselubungi tabung gelas yang divakum. Dalam pipa dialiri cairan atau fluida yang menyerap panas pada pipa. Fluida dialirkan ketangki penyimpanan panas (thermal storage).

Dari tangki itu, cairan dipompakan ke evaporator atau alat pengolah cairan pada system organic rankine cycle (ORC) di mana fluida untuk menghasilkan uap tekanan tinggi. Uap panas diekspansi di turbin organic yang akan dipakai di generator untuk menghasilkan listrik. Jadi ORC dipilih karena biasa beroperasi pada suhu udara rendah. Uap yang dikeluarkan dari turbin dikondensasikan di kondensor untuk dipompakan lagi ke evaporator. Setelah melalui evaporator, fluida dingin disirkulasikan kembali ke system CSP. Mekanisme ini terus berlangsung. Jadi, CSP dikembangkan P2 Telimek dan kini dipasang di Kantor UPT LIPI di Gunung Kidul, Yogyakarta, dilengkapi kompor pembakar (fuel burner) berbahan bakar biomassa. Tujuannya membantu pengambilan panas saat hujan yang memicu penyerapan panas dari matahari ke solar collector tak maksimal. “Itu digunakan jika panas untuk pemanasan awal kurang atau saat malam hari panas kurang. Selama panas dari sinar matahari cukup, fuel burner dari biomassa tak diperlukan,”ujarnya.

 

UjiCoba

Pihak P2 Telimek menguji coba pemasangan instrumen berkapasitas 10 kilowatt (KW) ini di UPT LIPI di Gunung Kidul.Ujicoba 90 persen, tetapi terkendala pompa fluida yang tak tahan suhu tinggi. Suhu fluida yang dipanaskanmencapai 150 derajat Celsius. Di Gunung Kidul, hasil uji coba sementara suhu fluida 120 derajat Celsius. Budi menyebut LIPI mematangkan CPS ini dan merancangnya untuk manfaat lain. Contohnya, pengeringan hasil pertanian di pedesaan dan pemurnian air laut di pulau terpencil.

Meski dipakai skala besar di California, LIPI memperbarui sesuai kondisi di Indonesia. Misalnya, pemakaian cairan penyalur panas atau heat trasfer fluid (HTF) dari minyak sawit. Selain itu, LIPI juga membuat system sambunganantarpipapenyerap yang menahankebocoransampaisuhu 250 derajat Celsius dan tetap fleksibel. Jadi, selama parabola melakukan pelacakan, sistem sambungan pipa panas (heat absorber) bias mengikuti. Alat ini bisa beroperasi meski malam berkat tangki insulasi sebagai penyimpan cairan panas.

Penurunan suhu udara saat malam kurang dari 2 derajat Celsius sehingga system bias bekerja. Sebagian peralatan untuk membuat CSP ini impor, antara lain lapisan kaca untuk memantulkan radiasi matahari dan turbin. Onderdil lain biasa diproduksi di dalam negeri. Di Indonesia, pengembangan pembangkit listrik tenaga surya lamban. Menurut Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, tahun 2010 terpasang PLTS berkapasitas 0,19 megawatt lalu menjadi 17,015 MW pada 2017. Dinar Ari Prasetyo, Presiden Direktur Energi Bersih Indonesia, mengatakan, listrik PLTS secara bisnis belum bisa bersaing dengan listrik dari PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Sebab, tarif listrik PLN Rp.1.400 per kilo watt jam, sedangkan tariff listrik PLTS Rp.3.000-Rp.6.000.

Pengelolaan PLTS juga butuh pemeliharaan dan pembelian baterai yang hanya tahan lima tahun. Di Desa Giriharjo, Gunung Kidul, Dinar memanfaatkan PLTS guna menghidupkan pompa air dengan biaya pemeliharaan didapat dari penjualan air kewarga. Contoh lain di Maratua. Kepulauan Derawan, Berau, Kalimantan Timur, ia memasang PLTS untuk menghidupkan pembuat es batu bagi nelayan setempat. Itu dinilai lebih ekonomis dan memenuhi kalkulasi bagi pemeliharaan PLTS dibandingkan dengan menyalurkan listrik kemasyarakat. Dengan demikian, pengembangan energi terbarukan memerlukan kreativitas social-ekonomi warga setempat agar beroperasi jangka panjang. Sinergi inovasi teknologi dan pendekatan social ekonomi dibutuhkan untuk pengembangan energi terbarukan murah, aplikatif, dan berkelanjutan. (mus/pdhp).

 

Sivitas terkait: Dr. Eng. Budi Prawara.

Sumber: Kompas (Senin, 10 September 2018/IchwanSusanto).

(bs/red/php)